Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog)

Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog) Pados Berita Terupdate, kali ini Pados Berita akan memberikan informasi berita penting terbaru, viral dan aktual dengan judul Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog) yang telah tim pados berita analisa, rangkum dan cari persiapkan dengan matang untuk anda baca semua. Semoga imformasi berita terbaru yang kami sajikan mengenai Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda menjadikan kita semua manusia yang berilmu dan barokah bagi semuanya.

Judul : Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog)
link : Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog)

KIBLAT.NET, Jakarta – Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Komisi III DPR bersama pemerintah memasuki tahap akhir. Perkembangan terakhir antara Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi secara resmi mengakhiri masa tugasnya.

Meski masa tugas telah berakhir namun permasalahan perumusan norma dalam RKUHP khususnya terkait delik penghinaan tetap dipertahankan.

Salah satu delik penghinaan yang patut menjadi sorotan adalah penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Buku Kedua Pasal 263 dan 264 RKUHP atau yang biasa disebut lesse majeste.

Hal itu diungkapkan Ade Wahyudin, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melalui rilisnya, Rabu (07/02/2018). Ia pun menyebut bahwa rumusan norma kedua pasal di atas telah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 134 dan 137 KUHP. Namun Pasal 134 dan 137 tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

“Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa, pertama, martabat presiden dan wapres berhak dihormati secara protokoler namun keduanya tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya,” ungkapnya.

“Presiden dan wapres tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat,” lanjutnya.

Kedua, pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP disebutnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wapres.

Ketiga, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalui digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan.

“MK secara tegas juga menyatakan pasal tersebut secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945,” tegasnya.

“Dengan pertimbangan MK diatas telah secara jelas bahwa norma delik penghinaan terhadap presiden dan wapres inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat,” lanjutnya.

Jika merujuk pada frasa “penghinaan” pada Pasal 263 dan 264 RKUHP juga tidak dijelaskan secara spesifik dan rinci perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat khususnya aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal tersebut.

Jika kedua pasal tersebut tetap dirumuskan maka dapat berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap bentuk kritik dan penyampaian pendapat yang ditujukan kepada presiden dan wakil presiden.

“Dengan tetap dipertahankannya rumusan delik penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP secara jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan putusan MK yang final dan berkekuatan hukum tetap. Dengan ini kami mendesak kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan tindakan sebagai berikut: Pertama, Mencabut Pasal 263 dan 264 yang diatur dalam Buku Kedua RKUHP karena bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006,” ungkapnya.

“Kedua, Pemerintah dan DPR harus meninjau ulang rumusan delik penghinaan dan tidak ahistoris terhadap pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang sering digunakan untuk membungkam kritik dan pendapat masyarakat di masa lampau,” tukasnya.

Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Hunef Ibrahim

Let's block ads! (Why?)


Baca Kelanjutan Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog) :

KIBLAT.NET, Jakarta – Pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Komisi III DPR bersama pemerintah memasuki tahap akhir. Perkembangan terakhir antara Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi secara resmi mengakhiri masa tugasnya.

Meski masa tugas telah berakhir namun permasalahan perumusan norma dalam RKUHP khususnya terkait delik penghinaan tetap dipertahankan.

Salah satu delik penghinaan yang patut menjadi sorotan adalah penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Buku Kedua Pasal 263 dan 264 RKUHP atau yang biasa disebut lesse majeste.

Hal itu diungkapkan Ade Wahyudin, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melalui rilisnya, Rabu (07/02/2018). Ia pun menyebut bahwa rumusan norma kedua pasal di atas telah diatur terlebih dahulu dalam Pasal 134 dan 137 KUHP. Namun Pasal 134 dan 137 tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

“Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa, pertama, martabat presiden dan wapres berhak dihormati secara protokoler namun keduanya tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya,” ungkapnya.

“Presiden dan wapres tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat,” lanjutnya.

Kedua, pada Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP disebutnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wapres.

Ketiga, Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalui digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan.

“MK secara tegas juga menyatakan pasal tersebut secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945,” tegasnya.

“Dengan pertimbangan MK diatas telah secara jelas bahwa norma delik penghinaan terhadap presiden dan wapres inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat,” lanjutnya.

Jika merujuk pada frasa “penghinaan” pada Pasal 263 dan 264 RKUHP juga tidak dijelaskan secara spesifik dan rinci perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat khususnya aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal tersebut.

Jika kedua pasal tersebut tetap dirumuskan maka dapat berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap bentuk kritik dan penyampaian pendapat yang ditujukan kepada presiden dan wakil presiden.

“Dengan tetap dipertahankannya rumusan delik penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP secara jelas merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan putusan MK yang final dan berkekuatan hukum tetap. Dengan ini kami mendesak kepada DPR dan pemerintah untuk melakukan tindakan sebagai berikut: Pertama, Mencabut Pasal 263 dan 264 yang diatur dalam Buku Kedua RKUHP karena bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006,” ungkapnya.

“Kedua, Pemerintah dan DPR harus meninjau ulang rumusan delik penghinaan dan tidak ahistoris terhadap pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang sering digunakan untuk membungkam kritik dan pendapat masyarakat di masa lampau,” tukasnya.

Reporter: Muhammad Jundii
Editor: Hunef Ibrahim

Let's block ads! (Why?)


Sekianlah berita Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog) pada kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel berita lainnya.


Anda sekarang membaca artikel berita Pasal Penghinaan Presiden Dapat Munculkan Ketidakpastian Hukum - kiblat (Siaran Pers) (Blog) dengan alamat link https://padosberita.blogspot.com/2018/02/pasal-penghinaan-presiden-dapat.html

Subscribe to receive free email updates:

AdBlock Detected!

Suka dengan blog ini? Silahkan matikan ad blocker browser anda.

Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×