Hukum Bencana dan Bencana Hukum - Serambi Indonesia
Judul : Hukum Bencana dan Bencana Hukum - Serambi Indonesia
link : Hukum Bencana dan Bencana Hukum - Serambi Indonesia
(Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Oleh Sulaiman Tripa
SAMPAI sekarang, ada satu hal penting yang diyakini kalangan ahli hukum kritis, bahwa hukum sering diselundupkan dalam rangka memenuhi berbagai kepentingan mereka yang mapan. Setiap tahun, hukum (dalam makna peraturan perundang-undangan) terus dihasilkan, namun ia tidak selalu berorientasi untuk menyelesaikan masalah secara holistik, melainkan hanya sebagai alat bagi mulusnya berbagai kepentingan kaum yang memiliki modal.
Dalam konteks keilmuan, bertahun-tahun hubungan dalam strata sosial ini didialogkan. Golongan kritis mempertanyakan kembali apakah memang benar hukum itu objektif --sebagaimana diyakini para pegiat hukum modern. Roberto M Unger yang mewakili kutub ini, yang meyakini bahwa hukum itu selalu subjektif. Maka mereka yang bermazhab hukum kritis, selalu mempertanyakan apakah memang benar prinsip hukum equality before the law itu ada dalam kenyataan? Prinsip ini lebih dianggap sebagai hiasan ketimbang kenyataan. Sebagai hiasan, ia diciptakan hanya terbatas pada orientasi tertentu saja.
Sejumlah ciri penting dari corak berpikir hukum demikian. Setengah abad yang lalu, Marc Galanter mengklaim sejumlah cirinya, antara lain uniform dan konsisten, transaksional, universal, hirarkhis, birokratis, rasional, profesional, dan teknis. Ciri-ciri inilah yang dibantah kaum kritis, dengan klaim subjektif, hukum itu pada dasarnya selalu cair dan serba tidak pasti.
Ada perbedaan pandangan. Pihak yang satu mengklaim, yang jika dibahasakan dengan bahasa rakyat, apa yang sudah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, sudah bisa dipastikan kepastian hukumnya sampai pada tingkat pelaksanaan hukum. Pihak yang lain mengklaim, dalam ruang empiris dan sosiologis, hukum sebagai norma masih bisa diihat perbedaannya dengan hukum sebagai realitas.
Pengarusutamaan bencana
Debat keilmuan di atas, tidak mungkin bisa dipisahkan dari konteks hukum bencana. Pada tataran makro, keberadaan hukum bencana masih dianggap mewakili pandangan hukum kritis. Pembentuk peraturan perundang-undangan masih belum bisa secara radikal untuk memotong bencana hukum. Hukum bencana masih tersimpan banyak kepentingan, di luar dari kepentingan orientasi menanggulangi dan mengurangi risikonya.
Hukum bencana masih sangat kaku dengan pemaknaan bencana yang seolah terpisah dengan ruang sosialnya. Dari tiga fase bencana, yakni pra, saat terjadi, dan pascabencana, kebijakan masih dominan pada saat terjadi. Penanganan masa tanggap darurat, sepertinya masih sangat dominan dalam pengonsepsian, apalagi pelaksanaan hukum bencana.
Aceh sebagai daerah yang mengalami sejumlah bencana besar, berkontribusi bagi melahirkan hukum bencana yang lebih progresif. Beberapa kebijakan lokal tampak kemajuan terkait bencana. Dengan kebijakan tingkat lokal inilah, harus bisa secara progresif menguatkan hukum bencana secara nasional.
Penguatan hukum bencana sangat penting, mengingat dalam susunan hirarkhi hukum, kebijakan berada pada tataran hukum paling bawah. Kebijakan selalu kalah ketika dibenturkan dengan asas hukum, terutama untuk konteks keberadaan peraturan perundang-undangan yang tidak progresif. Asas hukum penting yang selalu digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi selalu mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferior). Sebaik apapun kebijakan yang lahir di daerah, harus selalu selaras dengan hukum Nasional.
Baca Kelanjutan Hukum Bencana dan Bencana Hukum - Serambi Indonesia :
(Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Oleh Sulaiman Tripa
SAMPAI sekarang, ada satu hal penting yang diyakini kalangan ahli hukum kritis, bahwa hukum sering diselundupkan dalam rangka memenuhi berbagai kepentingan mereka yang mapan. Setiap tahun, hukum (dalam makna peraturan perundang-undangan) terus dihasilkan, namun ia tidak selalu berorientasi untuk menyelesaikan masalah secara holistik, melainkan hanya sebagai alat bagi mulusnya berbagai kepentingan kaum yang memiliki modal.
Dalam konteks keilmuan, bertahun-tahun hubungan dalam strata sosial ini didialogkan. Golongan kritis mempertanyakan kembali apakah memang benar hukum itu objektif --sebagaimana diyakini para pegiat hukum modern. Roberto M Unger yang mewakili kutub ini, yang meyakini bahwa hukum itu selalu subjektif. Maka mereka yang bermazhab hukum kritis, selalu mempertanyakan apakah memang benar prinsip hukum equality before the law itu ada dalam kenyataan? Prinsip ini lebih dianggap sebagai hiasan ketimbang kenyataan. Sebagai hiasan, ia diciptakan hanya terbatas pada orientasi tertentu saja.
Sejumlah ciri penting dari corak berpikir hukum demikian. Setengah abad yang lalu, Marc Galanter mengklaim sejumlah cirinya, antara lain uniform dan konsisten, transaksional, universal, hirarkhis, birokratis, rasional, profesional, dan teknis. Ciri-ciri inilah yang dibantah kaum kritis, dengan klaim subjektif, hukum itu pada dasarnya selalu cair dan serba tidak pasti.
Ada perbedaan pandangan. Pihak yang satu mengklaim, yang jika dibahasakan dengan bahasa rakyat, apa yang sudah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, sudah bisa dipastikan kepastian hukumnya sampai pada tingkat pelaksanaan hukum. Pihak yang lain mengklaim, dalam ruang empiris dan sosiologis, hukum sebagai norma masih bisa diihat perbedaannya dengan hukum sebagai realitas.
Pengarusutamaan bencana
Debat keilmuan di atas, tidak mungkin bisa dipisahkan dari konteks hukum bencana. Pada tataran makro, keberadaan hukum bencana masih dianggap mewakili pandangan hukum kritis. Pembentuk peraturan perundang-undangan masih belum bisa secara radikal untuk memotong bencana hukum. Hukum bencana masih tersimpan banyak kepentingan, di luar dari kepentingan orientasi menanggulangi dan mengurangi risikonya.
Hukum bencana masih sangat kaku dengan pemaknaan bencana yang seolah terpisah dengan ruang sosialnya. Dari tiga fase bencana, yakni pra, saat terjadi, dan pascabencana, kebijakan masih dominan pada saat terjadi. Penanganan masa tanggap darurat, sepertinya masih sangat dominan dalam pengonsepsian, apalagi pelaksanaan hukum bencana.
Aceh sebagai daerah yang mengalami sejumlah bencana besar, berkontribusi bagi melahirkan hukum bencana yang lebih progresif. Beberapa kebijakan lokal tampak kemajuan terkait bencana. Dengan kebijakan tingkat lokal inilah, harus bisa secara progresif menguatkan hukum bencana secara nasional.
Penguatan hukum bencana sangat penting, mengingat dalam susunan hirarkhi hukum, kebijakan berada pada tataran hukum paling bawah. Kebijakan selalu kalah ketika dibenturkan dengan asas hukum, terutama untuk konteks keberadaan peraturan perundang-undangan yang tidak progresif. Asas hukum penting yang selalu digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi selalu mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferior). Sebaik apapun kebijakan yang lahir di daerah, harus selalu selaras dengan hukum Nasional.
Anda sekarang membaca artikel berita Hukum Bencana dan Bencana Hukum - Serambi Indonesia dengan alamat link https://padosberita.blogspot.com/2018/03/hukum-bencana-dan-bencana-hukum-serambi.html