Korban Operasi Razia Preman Tuntut Keadilan, Keluarga: Mana Bisa Melawan Polisi, Tangannya Diborgol
Judul : Korban Operasi Razia Preman Tuntut Keadilan, Keluarga: Mana Bisa Melawan Polisi, Tangannya Diborgol
link : Korban Operasi Razia Preman Tuntut Keadilan, Keluarga: Mana Bisa Melawan Polisi, Tangannya Diborgol

Foto: Getty Images
Moslemcommunity- Keluarga korban tewas dalam operasi razia preman oleh kepolisian terhadap orang-orang yang diduga jambret atau preman selama Asian Games 2018 terus meminta keadilan.
Dua keluarga asal Jakarta, yang masing-masing anaknya tewas diterjang peluru polisi, melaporkan tindakan kepolisian - yang dianggap main hakim sendiri - ke divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Mabes Polri, Selasa (25/09) siang.
Didampingi para aktivis LBH Jakarta, mereka meyakini anggota keluarganya tidak melakukan perlawanan saat aparat polisi melepaskan tembakan hingga tewas.
"Anak saya dianggap melawan polisi, lalu ditembak. Sedangkan kalau saya bilang, dia tidak mungkin merebut senjata, karena orangnya kecil dan posisinya diborgol," kata Pariyanto, 56 tahun, ayah dari Bobi Susanto, yang tewas ditembak polisi awal Juli lalu.
Bobi, 25 tahun, ditangkap massa saat kepergok menjambret di kawasan Cengkareng. Dia kemudian 'diamankan' di pos RW setempat sebelum diserahkan ke aparat kepolisian di wilayah itu, kata Pariyanto.
"Ada kejanggalan lainnya, diserahkan oleh pos RW dalam keadaan sehat, dan dibawa polisi. Baru esoknya, saya dikabari dia meninggal," ungkapnya, seperti dilaporkan wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan.
"Dan mayatnya, saya (oleh polisi) tidak boleh melihat. Cuma kepala yang boleh dilihat," tambah Pariyanto.
Selain Bobi, keluarga korban Dedi Kusuma, 33 tahun, yang ditembak di Kemayoran pada Juli lalu juga mengadukan persoalannya ke Propam Mabes Polri.
"Yang kami tuntut adalah pelaku ini dengan rantai komando harus diproses secara etik sesuai kewenangan propam. Jika harus diberhentikan, ya diberhentikan," kata pengacara publik dari LBH Jakarta, Shaleh Al Ghifari, yang mendampingi mereka..
"Tapi yang lebih kami harapkan adalah proses pidana, karena ini menyangkut hilangnya nyawa," tambahnya.
Atas nama ketertiban dan keamanan masyarakat, sebelum dan selama Asian Games 2018, kepolisian di Jakarta menggelar operasi razia preman sejak Juli lalu.
Hasilnya, belasan orang yang dituduh begal atau jambret meninggal dunia terkena peluru polisi, karena dianggap melawan aparat, seperti diungkapkan pejabat kepolisian Jakarta Juli lalu.
Para pegiat HAM dunia sebelumnya telah mengutuk tindakan kepolisian Indonesia yang dianggap di luar prosedur terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penjambret atau begal.
Polisi sejak awal bersikukuh pihaknya sudah melalui prosedur resmi.
"Masalah kriminalitas jalanan, sejak kemarin saya sudah perintahkan Operasi Mandiri Kewilayahan selama satu bulan," kata Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis saat apel siaga di Mapolda Metro Jaya, awal Juli lalu.
Menurutnya, sasaran utama dalam operasi itu adalah jalan raya, stasiun, terminal serta pusat perbelanjaan. Dia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menembak pelaku jika dinilai membahayakan masyarakat.
"Tidak usah ragu-ragu melakukan tindakan tegas, apabila para pelaku membahayakan masyarakat dan membahayakan mengancam jiwa petugas," tandas Idham Azis.
BBC Indonesia telah menghubungi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Argo Yuwono, tetapi tidak mendapatkan tanggapan sampai Selasa (25/09) malam.
Dalam keterangan sebelumnya, Argo Juwono polisi menolak tuduhan pihaknya melakukan kekerasan yang berlebihan.
"Dari 1.400-an (yang ditangkap), yang ditembak hanya 27 orang, kemudian 11 orang mati. Tentu ada parameter polisi mengapa kita melakukan tindakan tegas," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Argo Yuwono kepada wartawan di Jakarta, pertengahan Juli silam.
Argo menuturkan, ada empat alasan yang membuat aparat polisi melakukan tindakan tegas terhadap orang-orang yang dianggap melakukan kejahatan jalanan, misalnya begal dan jambret.
"Pertama, saat pelaku akan ditangkap pelaku membahayakan jiwa polisi atau masyarakat; kemudian pelaku menabrak dengan sengaja anggota; dan, ketiga pelaku sengaja merampas senjata api, dan keempat pelaku membawa senjata tajam atau senpi kemudian saat ditangkap ada perlawanan," paparnya
Dia juga berulang kali menegaskan pihaknya tidak sembarangan menembak mati orang-orang yang disebut sebagai pelaku.
Bagaimanapun, menurut pengamat kepolisian, Hamidah Abdurrahman, upaya kepolisian untuk menjaga ketertiban umum, harus tetap berdasarkan peraturan yang sudah ada.
"Apakah kode etik kepolisian, peraturan disiplin, sampai kepada UU perlindungan hak asasi manusia (HAM)," kata Hamidah saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/09) malam.
"Karena, seperti apapun orang yang bersalah itu, katakanlah dia sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, atau dia baru dinyatakan tersangka oleh kepolisian, hak-haknya sebagai tersangka tetap melekat," jelas Hamidah.
"Sehingga dalam kasus penembakan terhadap begal ini, ya saya kira pihak kepolisian harus melakukan apa yang dinamakan tahapan pelanggaran kode etik, polisi harus melakukan itu, untuk melihat apakah tindakan dari anggota Polri yang langsung melakukan penembakan itu dapat dibenarkan," paparnya lebih lanjut. (BBCindonesia)
Sekianlah berita Korban Operasi Razia Preman Tuntut Keadilan, Keluarga: Mana Bisa Melawan Polisi, Tangannya Diborgol pada kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel berita lainnya.
Anda sekarang membaca artikel berita Korban Operasi Razia Preman Tuntut Keadilan, Keluarga: Mana Bisa Melawan Polisi, Tangannya Diborgol dengan alamat link https://padosberita.blogspot.com/2018/09/korban-operasi-razia-preman-tuntut.html