Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC
Judul : Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC
link : Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC
Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC
Oleh:
Firdaus Gani
Guru MTsN 2 Kota Padang
Mahasiswa S3 Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia melalui internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang berlandaskan kasih sayang. Dalam perspektif pendidikan Islam, kegiatan belajar tidak semata bertujuan mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian dan akhlak mulia peserta didik. Oleh karena itu, sistem penilaian harus mencerminkan keseimbangan antara kemampuan berpikir kritis dan kepekaan nurani. Dalam konteks ini, penulisan soal berbasis literasi, numerasi, dan Higher Order Thinking Skills (HOTS) menjadi instrumen strategis dalam membangun peserta didik yang berpikir reflektif, berperasaan halus, dan berkarakter. Pendekatan ini menemukan makna terdalamnya ketika diintegrasikan dengan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) — sebuah paradigma yang digagas Kementerian Agama Republik Indonesia untuk meneguhkan pendidikan yang berlandaskan rahmah, kasih, dan nilai kemanusiaan universal.
Secara filosofis, pendidikan berbasis cinta berpijak pada pandangan bahwa pengetahuan tanpa kasih sayang akan melahirkan kecerdasan yang kering nilai moral, sedangkan cinta tanpa pengetahuan berisiko kehilangan arah rasional. Dalam Islam, cinta (mahabbah) dan kasih sayang (rahmah) adalah esensi dari keberadaan manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Nilai rahmah ini menjadi dasar filosofis bahwa pendidikan tidak boleh lepas dari sentuhan hati dan nilai kemanusiaan. Dalam konteks penilaian, setiap butir soal hendaknya lahir dari kesadaran bahwa menguji bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menumbuhkan potensi. Soal literasi, numerasi, dan HOTS harus menjadi instrumen yang menumbuhkan empati, kecermatan, dan kemampuan reflektif peserta didik.
Secara yuridis, penguatan literasi, numerasi, dan HOTS dalam kurikulum memiliki dasar hukum yang kokoh. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab. Kementerian Agama melalui KMA Nomor 347 Tahun 2022 tentang Implementasi Kurikulum Merdeka di Madrasah mengarahkan guru untuk melaksanakan pembelajaran yang kontekstual, berpusat pada peserta didik, dan menumbuhkan karakter religius serta sosial. Dalam kerangka ini, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) hadir bukan sekadar inovasi emosional, tetapi juga pendekatan pedagogis yang mengintegrasikan tiga ranah utama: nalar (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotorik). KBC menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari capaian akademik, tetapi juga dari kedalaman rasa kasih, empati, dan akhlak yang ditumbuhkan melalui setiap proses pembelajaran.
Dari sisi konseptual, literasi tidak terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, melainkan kemampuan memahami, menafsirkan, dan menggunakan informasi secara kritis dalam konteks kehidupan nyata. Dalam pendidikan Islam, literasi juga mencakup literasi Qur’ani—kemampuan membaca ayat-ayat Allah dalam dua dimensi: qauliyyah (teks wahyu) dan kauniyyah (fenomena alam). Sementara itu, numerasi bukan sekadar keterampilan berhitung, melainkan kemampuan bernalar dengan data, berpikir logis, serta mengambil keputusan berdasarkan analisis kuantitatif yang bermakna. Adapun HOTS atau keterampilan berpikir tingkat tinggi, meliputi kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (analytical, evaluative, creative thinking). Soal HOTS yang baik bukan hanya menuntut jawaban benar, tetapi mengarahkan peserta didik untuk bernalar, berargumen, dan mengaitkan konsep dengan situasi kehidupan sehari-hari.
Secara empiris, hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2023 menunjukkan bahwa kemampuan literasi dan numerasi peserta didik Indonesia masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan data nasional Kemendikbudristek dan Kementerian Agama, sekitar 35% peserta didik madrasah baru mencapai kompetensi literasi minimum, dan hanya 31% mencapai numerasi minimum. Data ini menunjukkan bahwa sistem penilaian masih dominan pada pengukuran hafalan dan belum sepenuhnya mengarah pada kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Guru perlu merekonstruksi paradigma penilaian dari sekadar tes akademik menjadi sarana penguatan kecakapan berpikir dan karakter. Dalam kerangka KBC, pengembangan soal harus mengandung tiga dimensi nilai: intelektual (kejelasan konsep), emosional (penghargaan terhadap perasaan), dan spiritual (kesadaran ilahiah). Dengan demikian, setiap soal menjadi sarana pendidikan hati dan pikiran secara simultan.
Implementasi KBC dalam kegiatan penilaian menuntut integrasi antara kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler. Melalui proyek-proyek kokurikuler seperti literasi Qur’ani, numerasi kontekstual, kegiatan sosial, dan program peduli lingkungan, peserta didik belajar menerjemahkan nilai cinta ke dalam tindakan nyata. Soal-soal yang diujikan dalam konteks ini tidak hanya berorientasi pada kognisi, tetapi juga menilai kepedulian, kolaborasi, dan kesadaran spiritual peserta didik. Dengan pendekatan tersebut, penilaian menjadi bagian dari proses pendidikan yang memanusiakan, bukan sekadar proses seleksi nilai. Guru berperan bukan hanya sebagai penguji, tetapi sebagai murabbi—pendidik penuh kasih yang mengarahkan dengan keteladanan dan empati.
Secara analitis, penerapan KBC dalam penulisan soal mampu menggeser paradigma evaluasi dari sekadar mengukur hasil menjadi membina karakter dan kesadaran diri. Ketika asesmen dirancang dengan nuansa cinta dan empati, peserta didik merasa lebih dihargai, tenang, dan bersemangat untuk belajar. Evaluasi yang berlandaskan kasih tidak melemahkan objektivitas, melainkan memperkuat keadilan dengan memahami konteks dan potensi tiap individu. Dalam perspektif epistemologis Islam, cinta bukan hanya emosi spiritual, tetapi juga sumber pengetahuan yang mencerahkan. Cinta menuntun akal agar tidak kering, dan menuntun hati agar tidak buta. Maka, pendidikan berbasis cinta merupakan sintesis antara ilmu dan hikmah, antara kompetensi dan akhlak, antara kognisi dan kesadaran ilahiah.
Dengan demikian, penulisan soal literasi, numerasi, dan HOTS dalam kerangka Kurikulum Berbasis Cinta bukan hanya inovasi teknis dalam evaluasi, tetapi juga gerakan moral dan spiritual dalam pendidikan Islam. Integrasi antara kemampuan berpikir tingkat tinggi dan nilai kasih sayang menjadikan evaluasi lebih bermakna, berkeadilan, dan berperadaban. Evaluasi tidak lagi berhenti pada pengukuran kognitif, tetapi menjadi sarana memanusiakan manusia seutuhnya. Paradigma ini menegaskan kembali hakikat pendidikan Islam: mencerdaskan dengan ilmu, menghaluskan dengan cinta, dan memanusiakan dengan nilai-nilai ilahiah.
#Firdaus Gani
Sekianlah berita Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC pada kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel berita lainnya.
Anda sekarang membaca artikel berita Penulisan Soal Literasi, Numerasi, HOTS, dan Implementasi Kokurikuler serta Penguatan KBC dengan alamat link https://padosberita.blogspot.com/2025/10/penulisan-soal-literasi-numerasi-hots.html
