Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com

Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com Pados Berita Terupdate, kali ini Pados Berita akan memberikan informasi berita penting terbaru, viral dan aktual dengan judul Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com yang telah tim pados berita analisa, rangkum dan cari persiapkan dengan matang untuk anda baca semua. Semoga imformasi berita terbaru yang kami sajikan mengenai Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda menjadikan kita semua manusia yang berilmu dan barokah bagi semuanya.

Judul : Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com
link : Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com

Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.

Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.

Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya.

Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik. Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik.

Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang, awal 2014 itu, seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp 120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah).

Untuk apa? "Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua," jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.

Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. "Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp 120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp 200.000," kata saya.

Apa jawab petugas itu? "Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi," jawabnya.

Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah. Peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.

"Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?" kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. "Nanti diskusikan di Jakarta saja," jawab saya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Let's block ads! (Why?)


Baca Kelanjutan Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com :

Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.

Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.

Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya.

Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik. Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik.

Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang, awal 2014 itu, seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp 120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah).

Untuk apa? "Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua," jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.

Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. "Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp 120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp 200.000," kata saya.

Apa jawab petugas itu? "Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi," jawabnya.

Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah. Peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.

"Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?" kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. "Nanti diskusikan di Jakarta saja," jawab saya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Let's block ads! (Why?)


Sekianlah berita Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com pada kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel berita lainnya.


Anda sekarang membaca artikel berita Ironi Budaya Hukum Indonesia - Liputan6.com dengan alamat link https://padosberita.blogspot.com/2018/02/ironi-budaya-hukum-indonesia-liputan6com.html

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

AdBlock Detected!

Suka dengan blog ini? Silahkan matikan ad blocker browser anda.

Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×